Sabtu, 29 Januari 2011

Love Indramayu " SINTREN "



Kalau saya ditanya, apa tontonan waktu kecil yang berkesan? maka saya akan menjawabnya Sintren. Kesenian ini meninggalkan kesan yang dalam dalam pikiran saya waktu itu. Kalau kemudian ini menjadi bahan tulisan saya yang pertama disini, sebenarnya hanya kebetulan saja hari ini saya baru saja melihat artikel diMading sekolah milik siswa yang menuliskan tentang kesenian Indramayu yang hampir punah, diantaranya tertulis kesenian Sintren.

Yang masih saya ingat (berarti sudah +/- 20 tahun yang lalu), pertunjukkan Sintren diadakan ditempat yang luas, biasanya hanya menggunakan alas tikar/karpet. Tidak ada batas yang jelas antara penonton dan pemain Sintren, ini yang menjadi sebab kesenian ini terlihat merakyat sekali. Tabuhan gamelan yang mengiringi pertunjukkan ini sangat sederhana, hanya terdiri dari bambu betung (bambu besar) dan kendi yang keduanya dibunyikan dengan cara dipukul lubangnya menggunakan karet dari sandal ditambah kemeriahan bunyi kecrek. Bunyi tetabuhan ini pulalah yang digunakan untuk mengumpulkan penonton diawal pertunjukkan.

Seorang penari Sintren akan didudukan ditengah arena pertunjukkan, lalu kedua tangannya diikat dibelakang dengan kuat menggunakan saputangan, dihadapannya diletakkan seperangkat pakaian Sintren (biasanya kebaya ditambah sejenis rompi), alat make up dan aksessoris kepala, tidak lupa kacamata hitam. Perlu diketahui, untuk menjadi seorang penari Sintren syaratnya sang gadis harus masih perawan, dan ini tidak boleh dilanggar sebab kalo dilanggar gadis tersebut akan gila (penulis belum pernah melihat buktinya sampai sekarang).

Setelah penari didudukkan, tubuhnya akan ditutup menggunakan kurungan yang biasa digunakan untuk mengurung ayam tetapi agak lebih besar sedikit. Lalu tembang yang mengandung mantra mulai dinyanyikan:

Solasi solandana

Menyan putih ngundang dewa

Ana dewa dening sukma

Widadari temuruna

Tembang mantra diatas dilantunkan berulang-ulang, dan akan dihentikan jika kurungan yang menutup tubuh penari Sintren bergerak-gerak, ini menunjukkan bidadari yang diundang sudah masuk dalam tubuh sang penari, dan dibuktikan dengan bergantinya pakaian penari Sintren dari baju biasa menjadi menggunakan baju Sintren dengan aksessoris yang terpakai lengkap plus make up di wajahnya. Aneh bin ajaib, itu yang ada dalam benak saya ketika itu. Bayangkan dalam ruangan kecil, gelap dan terikat, seorang wanita dapat berganti pakaian dan bermake-up layaknya dalam kamar rias yang luas dan terang.

Sang penari Sintren ini kemudian akan mulai menari dalam keadaan tidak sadar, tidak ada pakem tarian yang jelas, kadang malah terlihat kaku dan monoton. Saat penari Sintren ini mulai menari-nari pertunjukkan akan dilanjutkan dengan acara ‘balangan’ yaitu melempar kain atau sarung ke tubuh Sintren, dimana disalah satu ujung kain akan disimpan uang yang berfungsi sebagai sawer (imbalan). Sintren yang terkena balangan kain akan terjatuh, adegan ini akan menimbulkan tawa atau bahkan jeritan dari penonton kalau sang dayang yang mengiringi penari Sintren terlambat/tidak dapat menahan tubuh sang penari. Penari Sintren akan dapat dibangunkan kembali (masih kondisi tidak sadar) dan melajutkan menari dengan cara diusapkan asap dari dupa yang dibakar selama pertunjukkan berlangsung. Jatuh bangunnya Sintren akibat balangan dan frekuensi balangan yang sering, menjadi keasyikan tersendiri dalam menikmati tontonan Sintren ini.

Lamanya pertunjukkan Sintren bervariasi, kurang lebih 3-4 jam. Pertunjukkan ini akan berakhir kalau dalang Sintren mulai mengalunkan tembang…

Godong kilaras

Ditandur tengahe alas

Paman bibi aja maras

Dalang lais jaluk waras

Awalnya saya mengira pertunjukkan Sintren berasal dari Indramayu, tetapi setelah saya telusuri di Internet, sejarah Sintren yang kuat justru menunjukkan kalau kesenian ini berasal dari Jawa Tengah tepatnya Pekalongan. Tetapi ada persamaan yang bisa ditarik secara psikologis, kesenian ini menunjukkan bentuk ekspresi kebebasan atau menolak batasan-batasan, tetapi tidak berani secara terang-terangan menolak batasan tersebut karena adanya ketakutan terhadap penguasa saat itu.

Tarian Sintren yang tanpa pakem dan dilakukan tanpa sadar (sehingga terlihat ‘bisu’) menunjukkan keinginan untuk bebas tetapi tidak mampu/berani terungkapkan. Sejarah Sintren versi Pekalongan menuliskan Sintren berasal dari cerita hubungan cinta yang tidak direstui antara Sulasih dan R. Sulandono yang merupakan anak seorang Bupati di Pekalongan. Sejarah ini menunjukkan adanya pengekangan dalam menjalin hubungan dua anak manusia.

1 komentar: